Muhammad Bukan Nabi
dan Rasul
Mahmud Suyuti
Sekretaris Jenderal
(Sekjend)
Tarekat Khalwatiyah
Syekh Yusuf al-Makassariy
Nabi adalah manusia
pilihan Allah yang menerima wahyu untuk dirinya sendiri dan disampaikan kepada
umatnya secara khusus, sedangkan Rasul adalah manusia pilihan Allah yang selain
menerima wahyu untuk dirinya sendiri juga diturunkan kepadanya syariat (hukum
keagamaan) untuk disampaikan kepada umat manusia secara umum.
Jumlah nabi dan
rasul, tidak diketahui secara pasti karena al-Qur’an menyebutkan, “Kami telah mengutus nabi-nabi sebelum kamu,
di antara mereka ada yang Kami sampaikan kisahnya dan ada pula yang tidak Kami
sampaikan kepadamu (QS. al-Mu’min/40: 78), nama-nama mereka yang disampaikan
Al-Qur’an hanya 25 orang. 18 di antaranya disebutkan dalam QS. al-An’am/6:
83-86, sisanya 7 orang disebutkan dari berbagai ayat.
Selain nama, setiap
nabi dan rasul memiliki gelar, sapaan tersendiri atau panggilan khusus. Para
nabi dan sebagian rasul diberi gelar AS (Alaihis Salam), tetapi terhadap Nabi
Muhammad atau Rasulullah Muhmmad selain gelar saw (Shallallahu Alaihi
Wasallam), juga melakat pada dirinya panggilan kemuliaan seperti ya Ayyuhan
Nabiy, ya Ayyuhan Rasul, atau dengan sapaan mesra seperti ya Ayyuhal
Mudatstsir, ya Ayuhhal Muzammil. Kalaupun ada ayat yang menyebut namanya, nama
tersebut dibarengi dengan gelar kehormatan seperti yang ditemukan dalam QS. Ali
Imran/3:144, QS. al-Ahzab/33: 40, QS. al-Fath/48: 29 dan QS. al-Shaf/61:6.
Itulah sebabnya
Al-Qur’an menegaskan, “Janganlah kamu menjadikan panggilan kepada Rasul (Nabi
Muhammad saw) di antara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian
yang lain (QS. al-Nur/24: 63), sehingga ulama pada umumnya dalam menyebut nabi
dan rasul pilihan Allah ini menambahkan kata “sayyidina (orang mulia)” sebelum
lafal Muhammad saw.
Disebutkan dalam
kitab Nayl al-Awthar, juz II/326, qad isytahara ziyādatun sayyidinā
qabla Muhammadin ‘inda aktsari al-mushalliyyin wa fi kawni zālika afdhalu
nadzdrun (sungguh telah popular ditambahkannya kata Sayyidina sebelum lafal
Muhammad bagi setiap mereka yang bershalawat dan ini merupakan pendapat yang
paling utama). Disebutkan pula dalam Hasyiyah Bajuriy, juz I/156 bahwa al-ulā
zikru al-sayyidā li annal afdhala sulūk al-adab (yang utama adalah
menambahkan lafal sayyidina karena terkait dengan etika sopan santun).
Memang ada hadis yang
melarang penambahan kata sayyidina tetapi kualitasnya daif (lemah) sebagaimana
disebutkan dalam beberapa kitab antara lain al-Minhaj al-Qawin/51; Qalyuniy,
juz I/167; Muhiba, juz II/262; Sulaiman Kurdy, Hamisy, juz
I/174; ‘Ianāt al-Thālibin, juz I/172 bahwa wa khabaru la tusayyiduni
fi al-shalāt dha’īfun bal la ashla lahu (hadis bahwa janganlah menambah
kata sayyidina saat bersalawat, adalah hadis daif bahkan tidak diketahui
sumbernya).
Lebih ekstrim lagi
dalam dunia tarekat Muktabarah al-Nahdliyah atau di kalangan sufi NU, bukan
saja menyebut kata sayyidina tetapi sejumlah lafal kemuliaan selalu
disandingkan dengan nama Nabi Muhammad saw, bahkan ditemukan lafal berderet
panjang di depan dan di belakangnya terutama saat bershalawat, sperti Allahumma
Shalli wa Sallim wa Barik ala Sayyidina wa Maulana wa Habibina wa Syafi’ina wa
Wawashilatina Ilallahi Nabiyyina wa Rasulina Muhammadin saw Khatamil Anbiya’
wal Mursalin Khairil Anam wal Mursalin wa Imamil Mursalin (senantiasa
kesejahteraan dan keselamatan, keberkahan kepada yang mulia, kami pertuankan,
kami cintai, pemberi syafaat kepada kami dan penyambung kami untuk sampai
keridahaan Allah, yaitu nabi dan rasul kami bernama Muhammad saw sebagai
penutup para nabi dan rasul, sebaik-baik nabi dan rasul, pemimpin para rasul Allah
yang telah diutus), dan seterusnya masih banyak lagi kata dan lafal atau
kalimat spesifik menunjukkan kemuliaan dan sekaligus merupakan ibadah yang
sangat terpuji dalam menegaskan kedudukannya sebagai nabi dan rasul Allah.
Nahdliyyin (warga NU)
yang sangat fanatik, jika mendengarkan seorang ustad, dai/mubalig, khatib atau
penceramah yang tidak mengawali khutbah atau ceramahnya dengan menyebut
“Sayyidina Muhammad saw” secara tegas dianggapnya ustad tersebut laisa minna
(bukan golongan pengikut sunnah). Ada guyonan di kalangan Nahdliyyin, bahwa
ustad tadi sangat pelit, tidak mau menambah kata Sayyidina sementara jika
menyapa pejabat ditambahnya dengan kata “yang terhormat” lengkap dengan nama
jabatannya seperti yang terhormat bapak camat, atau yang kami hormati bapak
kepala desa, namun saat menyebut nama Nabi Muhammad saw, menampakkan
kekikirannya dan kefakirannya, miskin kata Sayyidina.
Jika masih canggung
menyebut kata sayyidina, seperti Allahumma shalli ala Sayyidina Muhammad saw,
minimal harus menyebut mari kita bershalawat kepada Nabi Muhammad saw, atau
bershalawat kepada Rasulillah Muhammad saw, karena Nabi atau Rasulullah di awal
kata Muhammad dan saw di akhir namanya, menunjukkan kedudukannnya sebagai nabi
dan rasul Allah. Jika hanya menyebut nama Muhammad, tanpa embel-embel saw
dengan alasan bid’ah (menambah-nambah urusan agama) seperti kata Allahumma
shalli ala Muhammad atau mari kita memuji Muhammad dan mari bershalawat kepada
Muhammad, titik. Muhammad siapa yang dimaksud ?. Banyak orang bernama Muhammad
tetapi mereka bukan nabi dan Rasul Allah !. Wallahul Muwaffiq Ila Aqwamit
Thariq