Rabu, 18 Maret 2015

Muhammad bukan nabi dan rasul



Muhammad Bukan Nabi dan Rasul
Mahmud Suyuti
Sekretaris Jenderal (Sekjend)
Tarekat Khalwatiyah Syekh Yusuf al-Makassariy


Nabi adalah manusia pilihan Allah yang menerima wahyu untuk dirinya sendiri dan disampaikan kepada umatnya secara khusus, sedangkan Rasul adalah manusia pilihan Allah yang selain menerima wahyu untuk dirinya sendiri juga diturunkan kepadanya syariat (hukum keagamaan) untuk disampaikan kepada umat manusia secara umum.
Jumlah nabi dan rasul, tidak diketahui secara pasti karena al-Qur’an menyebutkan,  “Kami telah mengutus nabi-nabi sebelum kamu, di antara mereka ada yang Kami sampaikan kisahnya dan ada pula yang tidak Kami sampaikan kepadamu (QS. al-Mu’min/40: 78), nama-nama mereka yang disampaikan Al-Qur’an hanya 25 orang. 18 di antaranya disebutkan dalam QS. al-An’am/6: 83-86, sisanya 7 orang disebutkan dari berbagai ayat.
Selain nama, setiap nabi dan rasul memiliki gelar, sapaan tersendiri atau panggilan khusus. Para nabi dan sebagian rasul diberi gelar AS (Alaihis Salam), tetapi terhadap Nabi Muhammad atau Rasulullah Muhmmad selain gelar saw (Shallallahu Alaihi Wasallam), juga melakat pada dirinya panggilan kemuliaan seperti ya Ayyuhan Nabiy, ya Ayyuhan Rasul, atau dengan sapaan mesra seperti ya Ayyuhal Mudatstsir, ya Ayuhhal Muzammil. Kalaupun ada ayat yang menyebut namanya, nama tersebut dibarengi dengan gelar kehormatan seperti yang ditemukan dalam QS. Ali Imran/3:144, QS. al-Ahzab/33: 40, QS. al-Fath/48: 29 dan QS. al-Shaf/61:6.
Itulah sebabnya Al-Qur’an menegaskan, “Janganlah kamu menjadikan panggilan kepada Rasul (Nabi Muhammad saw) di antara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian yang lain (QS. al-Nur/24: 63), sehingga ulama pada umumnya dalam menyebut nabi dan rasul pilihan Allah ini menambahkan kata “sayyidina (orang mulia)” sebelum lafal Muhammad saw.
Disebutkan dalam kitab Nayl al-Awthar, juz II/326, qad isytahara ziyādatun sayyidinā qabla Muhammadin ‘inda aktsari al-mushalliyyin wa fi kawni zālika afdhalu nadzdrun (sungguh telah popular ditambahkannya kata Sayyidina sebelum lafal Muhammad bagi setiap mereka yang bershalawat dan ini merupakan pendapat yang paling utama). Disebutkan pula dalam Hasyiyah Bajuriy, juz I/156 bahwa al-ulā zikru al-sayyidā li annal afdhala sulūk al-adab (yang utama adalah menambahkan lafal sayyidina karena terkait dengan etika sopan santun).
Memang ada hadis yang melarang penambahan kata sayyidina tetapi kualitasnya daif (lemah) sebagaimana disebutkan dalam beberapa kitab antara lain al-Minhaj al-Qawin/51; Qalyuniy, juz I/167; Muhiba, juz II/262; Sulaiman Kurdy, Hamisy, juz I/174; ‘Ianāt al-Thālibin, juz I/172 bahwa wa khabaru la tusayyiduni fi al-shalāt dha’īfun bal la ashla lahu (hadis bahwa janganlah menambah kata sayyidina saat bersalawat, adalah hadis daif bahkan tidak diketahui sumbernya).
Lebih ekstrim lagi dalam dunia tarekat Muktabarah al-Nahdliyah atau di kalangan sufi NU, bukan saja menyebut kata sayyidina tetapi sejumlah lafal kemuliaan selalu disandingkan dengan nama Nabi Muhammad saw, bahkan ditemukan lafal berderet panjang di depan dan di belakangnya terutama saat bershalawat, sperti Allahumma Shalli wa Sallim wa Barik ala Sayyidina wa Maulana wa Habibina wa Syafi’ina wa Wawashilatina Ilallahi Nabiyyina wa Rasulina Muhammadin saw Khatamil Anbiya’ wal Mursalin Khairil Anam wal Mursalin wa Imamil Mursalin (senantiasa kesejahteraan dan keselamatan, keberkahan kepada yang mulia, kami pertuankan, kami cintai, pemberi syafaat kepada kami dan penyambung kami untuk sampai keridahaan Allah, yaitu nabi dan rasul kami bernama Muhammad saw sebagai penutup para nabi dan rasul, sebaik-baik nabi dan rasul, pemimpin para rasul Allah yang telah diutus), dan seterusnya masih banyak lagi kata dan lafal atau kalimat spesifik menunjukkan kemuliaan dan sekaligus merupakan ibadah yang sangat terpuji dalam menegaskan kedudukannya sebagai nabi dan rasul Allah.
Nahdliyyin (warga NU) yang sangat fanatik, jika mendengarkan seorang ustad, dai/mubalig, khatib atau penceramah yang tidak mengawali khutbah atau ceramahnya dengan menyebut “Sayyidina Muhammad saw” secara tegas dianggapnya ustad tersebut laisa minna (bukan golongan pengikut sunnah). Ada guyonan di kalangan Nahdliyyin, bahwa ustad tadi sangat pelit, tidak mau menambah kata Sayyidina sementara jika menyapa pejabat ditambahnya dengan kata “yang terhormat” lengkap dengan nama jabatannya seperti yang terhormat bapak camat, atau yang kami hormati bapak kepala desa, namun saat menyebut nama Nabi Muhammad saw, menampakkan kekikirannya dan kefakirannya, miskin kata Sayyidina.
Jika masih canggung menyebut kata sayyidina, seperti Allahumma shalli ala Sayyidina Muhammad saw, minimal harus menyebut mari kita bershalawat kepada Nabi Muhammad saw, atau bershalawat kepada Rasulillah Muhammad saw, karena Nabi atau Rasulullah di awal kata Muhammad dan saw di akhir namanya, menunjukkan kedudukannnya sebagai nabi dan rasul Allah. Jika hanya menyebut nama Muhammad, tanpa embel-embel saw dengan alasan bid’ah (menambah-nambah urusan agama) seperti kata Allahumma shalli ala Muhammad atau mari kita memuji Muhammad dan mari bershalawat kepada Muhammad, titik. Muhammad siapa yang dimaksud ?. Banyak orang bernama Muhammad tetapi mereka bukan nabi dan Rasul Allah !. Wallahul Muwaffiq Ila Aqwamit Thariq